MANOKWARI, cahayapapua.id- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua Barat turut serta dalam pemantauan ibadah malam Natal 2025 bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Pemerintah Provinsi Papua Barat di sejumlah gereja di Manokwari, Rabu (24/12/2025).
Dalam kesempatan tersebut, Ketua MUI Papua Barat, Dr. Mulyadi Djaya, menegaskan bahwa Papua merupakan daerah dengan tingkat keragaman agama yang sangat tinggi, sehingga moderasi beragama menjadi kekuatan utama dalam menjaga kehidupan sosial yang harmonis.
Menurutnya, agama-agama di Papua tidak memandang keberagaman sebagai perbedaan yang memecah, melainkan sebagai kekuatan bersama. Sikap beragama di Papua bersifat inklusif, bukan eksklusif, di mana setiap pemeluk agama saling menghormati dan menjaga toleransi.
“Keragaman ini menjadi ciri khas Papua. Kita hidup di tengah masyarakat yang heterogen, berbeda dengan daerah lain yang cenderung homogen. Karena heterogen inilah, rasa saling menghormati antarumat beragama di Papua sangat kuat dan selalu memperhatikan kondisi sosial budaya setempat,” ujarnya.
Ia menambahkan, suasana kebersamaan dan toleransi antarumat beragama terus terjaga karena difasilitasi oleh pemerintah daerah, aparat keamanan, dan seluruh unsur terkait. Setiap perayaan hari besar keagamaan, termasuk Natal dan Tahun Baru, selalu mendapatkan perhatian bersama agar dapat berjalan aman, damai, dan khidmat.
“Menjelang Natal dan Tahun Baru ini, saudara-saudara kita umat Kristiani dapat merayakan ibadah dengan baik dan penuh kekhusyukan. Ini adalah wujud nyata toleransi yang kita jaga bersama,” katanya.
Sebagai representasi umat Islam, ia menegaskan bahwa Islam sangat menghargai dan menghormati perbedaan. Dialog antarumat beragama menjadi kunci utama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan beragama.
“Kami dari agama Islam selalu menjunjung tinggi penghormatan terhadap perbedaan. Jika ada persoalan yang menyangkut kehidupan beragama, kami mengedepankan dialog. Inilah yang terus kami jaga,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa dirinya aktif dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang menjadi wadah dialog lintas agama untuk membahas kehidupan beragama, sosial, dan budaya agar tetap berjalan dengan baik di Papua Barat.
Lebih lanjut, ia menyebut Papua sebagai muara pertemuan agama-agama dunia, khususnya enam agama yang diakui oleh Negara Republik Indonesia. Setiap agama memiliki perjalanan sejarah panjang sebelum akhirnya berkembang di tanah Papua.
“Papua ini bisa dikatakan sebagai muara agama-agama dunia. Agama Kristen datang dari Roma dan Yerusalem, Islam dari Arab Saudi. Itu adalah nilai toleransi yang sudah ada sejak dulu,” jelasnya.
Ia menilai, sejarah tersebut menunjukkan bahwa penyebaran agama di Papua berlangsung dengan saling mendukung, bukan saling menghambat. Nilai-nilai toleransi itu terus hidup, termasuk dengan masuknya agama Kristen dan Katolik di Fakfak dan wilayah lainnya di Papua.
“Nilai-nilai toleransi dan kebersamaan ini tidak bisa dihilangkan. Jika ada pihak-pihak dari luar yang mencoba mengganggu keharmonisan yang sudah lama terjalin, itu akan terlihat dengan jelas. Inilah yang harus kita pertahankan bersama di Papua,” pungkasnya.
PSR-CP
